“Aku Perempuan Hebat!” seru 25 perempuan muda asal Poso sambil menyilangkan tangan mereka di depan dada layaknya sang Wonder Woman.

‘Aku Perempuan Hebat’ merupakan sebuah mantra penyemangat yang terus-menerus diserukan selama dua hari pelaksanaan GirlsCanLead (GCL) Leadership Camp pada awal Mei 2019 di Poso, Sulawesi Tengah. Ini merupakan kali kedua saya, Abigail, datang ke Poso. Salam tersebut pun sudah diserukan tidak hanya oleh 25 perempuan muda ini, tetapi juga oleh 100 teman-teman sebangsa mereka di kota-kota lain, seperti Ambon, Tangerang, dan Sukabumi.

GCL Leadership Camp merupakan suatu latihan dasar kepemimpinan yang menargetkan siswi-siswi SMA. Dalam camp ini, peserta akan diajak untuk memahami nilai-nilai dasar kepemimpinan serta melakukan exercise berbagai standard skills yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin. Contohnya, berbicara di depan publik, berpikir secara analisis, manajemen waktu, dan team work. Sejak pilot pertama kami di Poso pada awal 2018, GCL fokus membawa program ini ke daerah paska konflik atau rawan intoleransi.

Semua Berawal dari Rasa Frustasi

Kegiatan ini lahir dari rasa frustasi melihat kurangnya representasi perempuan di tingkat-tingkat tertinggi pengambilan keputusan di berbagai bidang, baik dari tingkat lokal hingga nasional.

Namun, rasa frustasi ini justru memberikan dorongan dalam diri saya untuk berbuat sesuatu. Berangkat dari ketidakyakinan saya pada diri sendiri, saya justru ingin membantu perempuan-perempuan muda lain untuk bisa maju. Saya teringat pada satu artikel dari majalah TIME yang menyatakan bahwa the secret of happiness is helping others. GCL bisa dikatakan lahir sebagai bentuk “pengobatan” pada diri sendiri. Bahwa setiap kali saya mengajar anak-anak perempuan ini untuk percaya diri, saya sedang melatih lagi kepercayaan diri saya. Bahwa ketika saya mendorong mereka untuk bermimpi dan berkontribusi untuk komunitasnya, saya pun sedang melakukan hal serupa melalui GCL ini.

Sebagai seorang profesional di bidang komunikasi dan pemerintahan, saya mengalami banyak kegelisahan ketika mulai meniti karir. Saya merupakan anak perempuan yang dibersarkan oleh seorang Ibu tunggal. Karenanya, butuh perjuangan besar untuk saya dapat menyelesaikan pendidikan saya dengan segala keterbatasan ekonomi. Alhasil, saya tumbuh besar dengan banyak insecurities. Rasa ketidakpercayaan diri semakin bertambah ketika memasuki dunia kerja. Saya mulai merasakan bahwa identitas saya sebagai perempuan turut membawa “beban-beban” tertentu. Saya mengalami sendiri ketika pertama kali menjadi anak magang di salah satu lembaga pemerintahan. Seringkali saya menjadi satu-satunya perempuan dalam pertemuan-pertemuan, atau kalaupun ada, biasanya perempuan tersebut hanya berperan sebagai supporting staff dan memilih untuk tidak berkontribusi / berkomentar pada apapun yang dibahas saat itu. I felt lost because I don’t have anyone as my guide, both for my personal and professional side.

Ketika melakukan riset pribadi sebagai usaha untuk menjawab dilemma yang saya alami, saya menemukan kurangnya representasi perempuan ternyata tidak hanya terjadi di lembaga pemerintahan, tetapi juga di dunia bisnis. Padahal menurut data BPS, hampir 50% populasi Indonesia adalah berjenis kelamin perempuan dan mengutip perkataan Menteri Keuangan Sri Mulyani,

“Indonesia diperkirakan mengalami economic loss hingga 15% ketika tidak memaksimalkan potensi populasi perempuannya.” 

Penemuan ini membuat saya sadar bahwa ternyata dilema yang saya hadapi bukan karena kondisi saya pribadi. Ternyata ada permasalahan yang jauh lebih besar daripada sekedar Abigail yang tidak percaya diri atau Abigail yang kurang punya support. Ternyata memang ada berbagai faktor eksternal, mostly cultural, yang membuat perempuan sulit untuk mencapai tampuk kepemimpinan.

Kenapa representasi perempuan penting?

Saya sering menggunakan contoh ini kepada para peserta GCL; bayangkan dari total 560 anggota DPR perempuan, perwakilan perempuan hanya 17,3% atau hanya ada 97 anggota DPR perempuan. Ditambah jumlah anggota DPR yang berusia dibawah 40 tahun hanya ada 97 orang juga. Jadi bisa disimpulkan profil anggota DPR kita mayoritas adalah Bapak-Bapak Tua. Karenanya, no wonder prioritas agenda mereka akan fokus ke bidang-bidang yang penting menurut mereka.. no wonder juga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terus menerus menghadapi bottleneck meski sudah bertahun-tahun diperjuangkan.

Jika ingin membahas ke level yang lebih praktis, alasan utama rasa frustasi saya harus dituangkan dalam satu wadah adalah ketika saya kembali merefleksikan apa yang saya rasakan ketika menjadi seorang perempuan atau satu dari sedikit perempuan di ruang rapat. Seringkali saya merasa rendah diri dan lebih enggan berkomentar. Ada satu momen dimana saya mengikuti suatu rapat yang dipimpin oleh Kepala Dinas perempuan. Melihat Ibu tersebut, saya jadi kagum bukan main dan mulai timbul rasa semangat, serta percaya diri. Pengalaman tersebut menjadi salah satu “aha moment” saya secara pribadi: you believe what you can see.

Semangat itulah yang saya bawa melalui GCL. Semangat untuk memberikan ruang bagi para perempuan muda agar lebih percaya diri.. untuk menjangkau mereka yang memiliki akses minim pada pengembangan kapasitas yang menjadi modal agar mereka dapat menjadi pemimpin masa depan di komunitasnya masing-masing. After all, bagaimana Indonesia bisa punya lebih banyak pemimpin perempuan jika sedari muda, perempuannya tidak paham dan tidak memiliki life skills yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin?

Founder GCL, Abigail (kedua dari kanan), di salah satu acara yang diselenggarakan Liberty Society, sebuah usaha yang diinisiasi para jawara Miss Indonesia 2019 yang turut menyumbangkan presentase profit mereka untuk GirlsCanLead

Memulai dari Hal Sederhana

GCL dapat dikatakan sebagai my personal passion project. Setelah organisasi ini 3 tahun berdiri pun, tim kami masih mengandalkan tenaga relawan dan dukungan dari komunitas-komunitas lokal di provinsi-provinsi yang kami sambangi. Terlepas dari pahit dan manisnya proses mempertahankan keberlangsungan GCL–kesibukan bekerja sebagai profesional muda, kesulitan mendapatkan grant, kurangnya dukungan pemerintah untuk mendukung isu gender–saya dan tim terus berusaha konsisten untuk menjalankan kegiatan ini. Sulit memang, mengingat standar kami mengacu pada gerakan-gerekan perempuan sekelas Lean In dan Me Too. Tetapi saya yakin, meski dampak yang kami berikan masih terbatas, kami sudah mulai menanamkan bibit-bibit kepemimpinan di dalam diri setiap remaja perempuan dan pemudi yang kami jumpai di tiap-tiap camp yang kami adakan.

Mengutip perkatan Simon Sinek,

“Dream big. Start small. But most of all, start.”

Diterbitkan pertama kali pada di ceritaperempuan.id